“Wangi kuahnya masih sama, ya?” ujar Rara sambil menghirup uap hangat dari mangkuk soto Banjar di depannya.
“Masih. Kayak waktu kita kecil dulu,” jawab Dina, tersenyum tipis. Ia meniup perlahan potongan perkedel yang mengapung di atas kuah kekuningan itu, lalu mencicipinya. Rasanya langsung membawa ia pada kenangan bertahun-tahun lalu — masa-masa seragam putih-merah, sandal jepit basah karena hujan, dan tawa polos di warung kecil belakang Plaza Kebun Sayur.
Soto Banjar Nam Min, begitu papan kayu tua di depan warung itu masih bertuliskan. Tempatnya sederhana, hanya beberapa meja panjang dengan kursi plastik warna biru yang catnya mulai pudar. Tapi buat Rara dan Dina, tempat ini lebih dari sekadar warung. Ia adalah “kotak waktu” yang menyimpan semua cerita mereka — dari masa kecil hingga kini, saat keduanya sudah bekerja dan jarang punya waktu untuk sekadar makan bareng.
“Dulu, tiap kali Mama nyuruh aku belanja ke pasar Kebun Sayur, pasti ujung-ujungnya mampir ke sini,” kata Rara sambil tertawa kecil. “Padahal niatnya beli bawang.”
Dina ikut tertawa. “Iya, terus uang belanja sisa dikit buat beli es jeruk Nam Min. Segar banget!”
Mereka berdua sama-sama menatap suasana sekitar. Di pojok warung, ada bapak tua pemilik Nam Min — masih sama, masih ramah, meski rambutnya kini memutih semua. Ia mengenali mereka, menyapa dari jauh sambil melambai. “Dua sahabat Kebun Sayur ya? Masih doyan soto juga, Nak?”
“Masih, Pak! Soto Banjar Nam Min tuh nggak pernah kalah sama yang lain,” seru Rara.
Bapak itu tertawa lebar. “Alhamdulillah. Berarti cita rasanya belum berubah.”
Rasa haru tiba-tiba menyeruak di dada Dina. Betul, rasa itu memang tak berubah gurih kaldu ayam kampungnya, aroma rempahnya yang khas, taburan bawang goreng dan seledri yang menari di permukaan kuah bening, serta lontong lembut yang selalu membuatnya ingin menambah porsi.
Namun yang membuat soto ini istimewa bukan cuma rasanya. Tapi kenangan. Setiap sendok membawa potongan masa lalu: hujan deras di sore hari, berdua berteduh sambil menyeruput soto panas; momen pertama kali patah hati di bangku SMA; dan kini, di usia dewasa, ketika hidup membawa mereka ke arah berbeda, mereka masih bisa kembali duduk di tempat yang sama.
“Lucu ya,” kata Rara pelan, “Dunia berubah, tapi Soto Nam Min nggak.”
Dina mengangguk. “Mungkin karena ada rasa yang dijaga. Kayak persahabatan kita.”
Rara tersenyum. “Dan kayaknya, setiap kita pulang ke Balikpapan, wajib makan di sini. Sekali seumur hidup pun, rasanya belum afdol kalau nggak ke Nam Min.”
Keduanya terdiam sebentar, menikmati kehangatan yang tak cuma datang dari kuah soto, tapi juga dari keakraban yang tak lekang waktu. Di luar, lalu lintas Kebun Sayur tetap ramai, tapi di sudut kecil belakang Plaza itu, waktu seperti berhenti — hanya ada dua sahabat, sepiring nostalgia, dan semangkuk Soto Banjar yang selalu jadi rumah bagi kenangan mereka.

Tidak ada komentar