Pisang Gapit Nenek

 


Premis : Dua Sahabat yang kembali mewujudkan mimpi setelah 12 tahun berpisah

Langit Balikpapan sore itu berwarna jingga ceria. Maya sesekali bersenandung lirih ketika beberapa lagu kenangan SO7 diputar. 

Maya pikir paklek supir taxinya seumuran dengannya, tapi ternyata tidak, ketika lirikannya kearah spion Taxi ternyata sopirnya masih gen Z kalau melihat penampilannya. Keren ya, band favorit tahun 2000 an kini malah semakin eksis dan disukai semua kalangan.

Satu jam yang lalu Maya barusan mendarat di Bandara Sepinggan, lalu di lanjut perjalanan ke BP dan kini di dalam taksi nomer lima yang akan membawanya menuju kawasan Kebun Sayur. Maya menggenggam erat ponselnya. Di layar, ada pesan singkat yang sudah dibacanya berulang kali.

“Maya, kamu masih ingat pisang gapit di Depot Bahari? Kita bertemu disana saja yuk.”

Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar. Dua belas tahun sejak pertemuan terakhir. Kini, takdir seperti sedang memutar ulang waktu. Tick -tack-tick-tack.

Begitu Taxi berhenti, Maya secepat kilat menyeberang jalan. Kebetulan jalanan sepi, padahal biasanya di jam-jam segitu lalu lintas sedang padat-padatnya. Depot Bahari memang begitu mempesona. Aroma manis pisang bakar dan wangi saus gula merah langsung menyambut ketika Maya memasuki depot.

Ia menatap sekeliling, tempat itu masih sama. Dinding cat putih bersih, meja-meja kayu panjang, dan suara riuh pengunjung yang membeli pisang gapit, baik yang dibungkus ataupun makan di tempat.

Di sudut yang dulu sering mereka duduki, Sinta sudah menunggu. Rambutnya kini lebih panjang, diikat rapi, dengan senyum yang sama seperti dulu: hangat, tanpa basa-basi, dan seolah bisa menyembuhkan rindu bertahun-tahun.

“Maya!” seru Sinta sambil melambaikan tangan.

Maya berjalan cepat, dan sebelum sempat berkata apa pun, mereka sudah berpelukan erat. Tidak ada kata yang keluar selama beberapa detik. Hanya tawa kecil di antara napas tertahan, dan rasa haru yang menumpuk begitu lama.

“Kamu masih suka datang ke sini, Sin?” tanya Maya setelah duduk.

“Masih. Ini tempat kuliner favoritku. Kadang aku datang sendirian, pura-pura kamu ada di sebelahku,” jawab Sinta sambil terkekeh.

Maya tertawa, tapi matanya berkaca-kaca.

“Waktu itu kita janji, kalau besar nanti mau buka kedai pisang gapit bareng. Ingat nggak?”

“Ingat banget. Namanya ‘Banana Book” Karena kamu ingin membuka kedai sekaligus perpustakaan bukan?”

Mereka tertawa lagi, sementara pelayan datang membawa dua porsi pisang gapit original. Pisang bakar yang di gapit, digunting kecil-kecil lalu disiram dengan saus kental dari campuran gula merah, santan, dan sedikit potongan nangka yang membuatnya makin sempurna.

Begitu gigitan pertama masuk ke mulutnya, Maya terdiam. “Rasanya masih sama. Manisnya seperti yang dulu,” ucapnya pelan.

Sinta mengangguk. “Balikpapan nggak banyak berubah, May. Cuma kitanya yang tumbuh.”

Maya lalu menatap Sinta dengan lembut. “Aku senang banget bisa ketemu kamu lagi. Dulu aku takut, kalau kita ketemu nanti, semuanya bakal terasa canggung. Tapi ternyata... masih sama saja, ya?”

“Masih,” jawab Sinta, “karena beberapa persahabatan nggak butuh alasan untuk tetap dekat. Cukup hati yang nggak pernah lupa.”

Senja makin turun, dan warna jingga mulai berganti dengan gelapnya malam.

Sebelum berpisah, mereka berjanji untuk tidak menunggu dua belas tahun lagi hanya untuk bertemu.

Di bawah cahaya lampu jalan, Maya sempat menoleh ke arah Sinta yang masih berdiri di depan Depot Bahari.

Ia tersenyum, lalu berbisik dalam hati:

“Balikpapan mungkin berubah. Tapi rasa pisang gapit, dan sahabat sepertimu, Sinta tidak akan pernah terganti.”

****

Satu minggu berlalu sejak pertemuan penuh air mata dan tawa itu di Depot Bahari, Kebun Sayur. Sejak hari itu, komunikasi Maya dan Sinta tidak pernah lagi terputus. Tiap hari mereka bertukar pesan, bercerita soal pekerjaan, keluarga, dan masa depan yang diam-diam kembali mereka rajut bersama.

Suatu sore, Sinta mengirim pesan dengan semangat yang tidak biasa

“May, aku baru nemu ruko kecil di daerah Melawai. Sepertinya cocok banget buat jualan minuman dan pisang gapit. Gimana kalau kita mulai saja mimpi kita dulu itu?”

Maya membaca pesan itu berkali-kali. Hatinya berdebar seperti remaja yang baru jatuh cinta tapi kali ini, pada impian lama yang tak pernah benar-benar padam.

Ada alasan tersendiri mengapa harus pisang gapit. Di Tengah ramainya kuliner hits yang kini merajai kota Balikpapan. Neneknya Maya pernah memberi nasehat sebelum meninggal agar tetap bisa menjaga resep warisan keluarga dengan berjualan pisang gapit.

Ruko kecil di Melawai itu sederhana. Cat dindingnya agak pudar, tapi jendela besar di depannya memantulkan cahaya sore yang hangat. Dari sana, terlihat lautan Balikpapan yang membentang jauh di kejauhan.

“Bayangin, Sin,” kata Maya sambil menatap kosong ke dalam ruang ruko yang masih berdebu. “Di sinilah nanti aroma pisang gapit kita akan bercampur dengan rak-rak buku yang menjadi pojok baca. Semua orang bisa membaca sembari menikmati kehangatan pisang gapit.

****

Di hari pembukaan, beberapa teman lama mereka datang. Maya menyiapkan saus gula merah dan santan dengan telaten, sementara Sinta melayani pelanggan dengan senyum khasnya.

“May, ternyata rasanya nggak kalah sama Depot Bahari!” kata salah satu pengunjung sambil tertawa.

Maya tersipu. “Kalau sampai enak, berarti karena ada rasa rindu di dalamnya.”

Sinta menatapnya sebentar, lalu berkata pelan, “Dan karena ada sahabat yang akhirnya

“Aku masih nggak nyangka, ya,” ujar Sinta. “Dua belas tahun hilang, lalu tiba-tiba kamu datang lagi dan semua terasa seperti dulu.”

Maya menatapnya sambil tersenyum. “Mungkin karena persahabatan itu kayak pisang gapit, Sin. Harus dipanaskan dulu biar makin manis.”

Mereka berpandangan, lalu sama-sama menatap langit Balikpapan yang kini dihiasi warna ungu keemasan. Lampu kota mulai menyala satu per satu, sementara suara ombak di kejauhan terdengar seperti melodi lama yang kembali diputar.

Hari itu, mereka tahu satu hal

beberapa mimpi memang butuh waktu untuk tumbuh, tapi yang tulus tak akan pernah layu.

Dan siapa pun yang datang mencicipi pisang gapit mereka, akan selalu membawa pulang sedikit rasa dari Balikpapan rasa manis yang menenangkan, Maya tersenyum, lalu menggenggam tangan sahabatnya. “Dan aku bersyukur, rindu itu masih bisa kita nikmati hari ini.”


Posting Komentar untuk "Pisang Gapit Nenek"